Senin, Juni 01, 2009

TORAJA

Tana Toraja memiliki alam dan budaya nan memesona. Tak heran, kabupaten di Sulawesi Selatan itu banyak dikunjungi wisatawan. Selain panorama gunung dan persawahan, seni ukir yang menghias rumah-rumah adat menjadi tontonan yang menawan.
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana. Menurut mitos yang hingga kini tetap diyakini di kalangan masyarakat Toraja, nenek moyang mereka yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendreng dan Bugis Luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan". Memang Kabupaten Tana Toraja letaknya kurang lebih 300-600 meter di atas permukaan laut. Orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya "orang yang berdiam di sebelah barat".

Versi lain, kata Toraja berasal dari Tau=(orang), Maraya=orang besar, bangsawan. Kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan Tana Toraja.

Secara administratif, Kabupaten Tana Toraja mempunyai luas wilayah 3.205,77 km2, terdiri dari 15 kecamatan, 116 lembang, dan 27 kelurahan yang masing-masing dipimpin oleh kepala camat, kepala lembang, dan kepala lurah. Kepala Lembang tersebut di era otonomi ini langsung pilih oleh rakyat secara demokrasi.

Seni Ukir

Salah satu jenis kesenian yang yang terkenal dan khas adalah seni ukir, yang sama umurnya dengan leluhur Tana Toraja. Jenis ukiran ini dipakai sebagai dekorasi, baik eksterior maupun interior pada rumah adat Toraja (tongkonan), dan termasuk pada lumbung padi (alang sura).

Semua ukiran yang terdapat pada rumah dan lumbung merupakan simbol makna hidup orang Toraja. Ukiran-ukiran itu ada yang bermakna hubungan manusia Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan).

Terik sinar matahari terasa semakin menyengat saat dipantulkan oleh papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan berbentuk perahu kerajaan Cina. Guratan pisau yang membekas di atas papan berwarna merah membentuk ukiran, tanda status sosial pemiliknya.

Deretan tanduk kerbau yang terpasang/digantung di depan rumah, juga menambah keunikan bangunan dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang dapat dijumpai di hampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih dikenal dengan tongkonan.

Konon kata tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.

Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi. Antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.

Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan pesio'aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Ada juga tongkonan pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari tongkonan pesio'aluk. Sementara itu, batu a'riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan.

Ada 67 Jenis

Jumlah ukiran diperkirakan 67 jenis dengan aneka corak dan makna. Warna ukiran terdiri dari merah, kuning, putih, hingga hitam. Semua berasal dari tanah liat, yang disebut litak, kecuali warna hitam dari jelaga (hitam arak pada periuk) atau bagian dalam batang pisang muda.

Masih ada jenis seni yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup dan budaya orang Toraja, yakni seni pahat. Seni ini dapat dilihat pada tongkonan merambu (rumah adat) dan tongkonan tang merambu (kuburan/patane).

Peralatan hasil seni pahat yang harus ada pada rumah adat (tongkonan) adalah kabongo', yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau kayu nangka, dilengkapi tanduk kerbau asli. Kabongo' ini berarti bahwa tongkonan ini milik pemimpin masyarakat, tempat melaksanakan kekuasaan adat.

Tongkonan merupakan peninggalan yang harus selalu dilestarikan. Hampir seluruh tongkonan menarik untuk dikunjungi, agar kita bisa mengetahui adat istiadat masyarakat Toraja.