Selasa, Agustus 04, 2009

Tanjung Pallette

Senin, Juni 01, 2009

TORAJA

Tana Toraja memiliki alam dan budaya nan memesona. Tak heran, kabupaten di Sulawesi Selatan itu banyak dikunjungi wisatawan. Selain panorama gunung dan persawahan, seni ukir yang menghias rumah-rumah adat menjadi tontonan yang menawan.
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana. Menurut mitos yang hingga kini tetap diyakini di kalangan masyarakat Toraja, nenek moyang mereka yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendreng dan Bugis Luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan". Memang Kabupaten Tana Toraja letaknya kurang lebih 300-600 meter di atas permukaan laut. Orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya "orang yang berdiam di sebelah barat".

Versi lain, kata Toraja berasal dari Tau=(orang), Maraya=orang besar, bangsawan. Kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan Tana Toraja.

Secara administratif, Kabupaten Tana Toraja mempunyai luas wilayah 3.205,77 km2, terdiri dari 15 kecamatan, 116 lembang, dan 27 kelurahan yang masing-masing dipimpin oleh kepala camat, kepala lembang, dan kepala lurah. Kepala Lembang tersebut di era otonomi ini langsung pilih oleh rakyat secara demokrasi.

Seni Ukir

Salah satu jenis kesenian yang yang terkenal dan khas adalah seni ukir, yang sama umurnya dengan leluhur Tana Toraja. Jenis ukiran ini dipakai sebagai dekorasi, baik eksterior maupun interior pada rumah adat Toraja (tongkonan), dan termasuk pada lumbung padi (alang sura).

Semua ukiran yang terdapat pada rumah dan lumbung merupakan simbol makna hidup orang Toraja. Ukiran-ukiran itu ada yang bermakna hubungan manusia Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan).

Terik sinar matahari terasa semakin menyengat saat dipantulkan oleh papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan berbentuk perahu kerajaan Cina. Guratan pisau yang membekas di atas papan berwarna merah membentuk ukiran, tanda status sosial pemiliknya.

Deretan tanduk kerbau yang terpasang/digantung di depan rumah, juga menambah keunikan bangunan dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang dapat dijumpai di hampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih dikenal dengan tongkonan.

Konon kata tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.

Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi. Antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.

Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain tongkonan layuk atau tongkonan pesio'aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Ada juga tongkonan pekaindoran, pekamberan, atau kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari tongkonan pesio'aluk. Sementara itu, batu a'riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan.

Ada 67 Jenis

Jumlah ukiran diperkirakan 67 jenis dengan aneka corak dan makna. Warna ukiran terdiri dari merah, kuning, putih, hingga hitam. Semua berasal dari tanah liat, yang disebut litak, kecuali warna hitam dari jelaga (hitam arak pada periuk) atau bagian dalam batang pisang muda.

Masih ada jenis seni yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup dan budaya orang Toraja, yakni seni pahat. Seni ini dapat dilihat pada tongkonan merambu (rumah adat) dan tongkonan tang merambu (kuburan/patane).

Peralatan hasil seni pahat yang harus ada pada rumah adat (tongkonan) adalah kabongo', yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau kayu nangka, dilengkapi tanduk kerbau asli. Kabongo' ini berarti bahwa tongkonan ini milik pemimpin masyarakat, tempat melaksanakan kekuasaan adat.

Tongkonan merupakan peninggalan yang harus selalu dilestarikan. Hampir seluruh tongkonan menarik untuk dikunjungi, agar kita bisa mengetahui adat istiadat masyarakat Toraja.

Selasa, Mei 26, 2009

RIWAYAT BANTIMURUNG



Dalam Perjanjian Bungaya I dan II (1667-1669), Maros ditetapkan sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda. Hal ini menjadikan bentuk-bentuk pemerintahan atau kerajaan-kerajaan kecil yang berada di dalam wilayah Kerajaan Maros diformulasikan dalam bentuk Regentschaap yang dipimpin oleh penguasa bangsawan lokal bergelar Regent (setingkat bupati). Setelah itu, Maros berubah menjadi Distrik Adat Gemenschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih dari bangsawan lokal dengan gelar Karaeng, Arung atau Gallarang. Kerajaan Simbang merupakan salah satu Distrik Adat Gemenschaap yang berada dalam wilayah Kerajaan Maros. Distrik ini dipimpin oleh seorang bangsawan lokal bergelar Karaeng.
Pada sekitar tahun 1923, Patahoeddin Daeng Paroempa, menjadi Karaeng Simbang. Ia mulai mengukuhkan kehadiran kembali Kerajaan Simbang dengan melakukan penataan dan pembangunan di wilayahnya. Salah satu program yang dijalankannya ialah dengan melaksanakan pembuatan jalan melintas Kerajaan Simbang agar mobilitas dari dan ke daerah-daerah di sekitarnya menjadi
lancar.
Pembuatan jalan ini, rencananya akan membelah daerah hutan belantara. Namun, suatu waktu pekerjaan tersebut terhambat akibat terdengarnya bunyi menderu dari dalam hutan yang menjadi jalur pembuatan jalan tersebut. Saat itu, para pekerja tidak berani melanjutkan pekerjaan pembuatan jalan. Karena suara gemuruh tersebut begitu keras. Karaeng Simbang yang memimpin langsung proyek ini lalu memerintahkan seorang pegawai kerajaan untuk memeriksa ke dalam hutan belantara asal suara itu. Usai sang pegawai kerajaan melakukan pemeriksaan lokasi, Karaeng Simbang lalu bertanya; “Aga ro merrung?” (Bahasa Bugis; suara apa itu yang bergemuruh?).
Benti, Puang,“ (Air, Tuanku), jawab sang pegawai tadi. "Benti", adalah Bahasa Bugis halus atau tingkat tinggi untuk air. Kosa kata seperti ini biasanya diucapkan oleh seorang hamba atau rakyat jelata ketika bertutur dengan kaum bangsawan. Mendengar laporan tersebut, Karaeng Simbang lalu berkenan melihat langsung asal sumber suara gemuruh dimaksud. Sesampainya di tempat asal suara, Karaeng Simbang terpana dan takjub menyaksikan luapan air begitu besar merambah batu cadas yang mengalir jatuh dari atas gunung. Beliau lalu berujar; “Makessingi kapang narekko iyae onroangngnge diasengi Benti Merrung!“ (Mungkin ada baiknya jika tempat ini dinamakan air yang bergemuruh).
Berawal dari kata Bentimerrung inilah kemudian berubah bunyi menjadi Bantimurung. Penemuan air terjun tersebut membuat rencana pembuatan jalan tidak dilanjutkan. Malah, daerah di sekitar air terjun tersebut dijadikan sebagai sebuah perkampungan baru dalam wilayah Kerajaan Simbang. Kampung ini dikepalai oleh seorang kepala kampung bergelar Pinati Bantimurung. Saat ini, Bantimurung menjadi salah satu kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Maros, begitu pula Simbang. Sedangkan air terjun Bantimurung menjadi kawasan wisata alam. Air terjun ini berasal dari luapan air yang mengalir jatuh dari atas, merambah batu cadas dengan ketinggian kurang lebih 30 meter dari permukaan tanah. Air terjun ini menggemuruh sepanjang hari sehingga menjadikannya tempat rekreasi yang sangat populer. Kawasan wisata alam Bantimurung terletak di lembah bukit kapur.
Dikelilingi pemandangan indah dan berhawa sejuk. Lokasi ini mudah dicapai karena kendaraan umum dari dan ke lokasi selalu tersedia. Apalagi jaraknya hanya sekitar 12 kilometer dari ibukota Kabupaten Maros, atau sekitar 45 kilometer dari pusat kota Makassar.
Selain air terjun, terdapat objek wisata lain di sekitar kawasan ini yakni goa mimpi dan goa batu. Goa mimpi merupakan salah satu tempat yang digemari. Karena di dalam goa terdapat stalaktit (relief batu yang terbentuk dari tetesan air dan menggantung di atas langit-langit goa) indah dengan kumpulan kristal. Di sekelilingnya diterangi lampu sehingga memperindah suasana di dalam goa. Inilah yang membuatnya disebut goa mimpi karena ketika berada di dalamnya, kita seakan-akan berada dalam mimpi. Selain itu, kondisi alam tropis yang subur menjadikan kawasan ini sebagai pemukiman ideal bagi berbagai jenis kupu-kupu. Saat ini tercatat sekitar 150 spesies kupu-kupu yang hidup di sini. Beberapa diantaranya merupakan spesies khas yang sulit ditemui di daerah lain. Tak heran bila tempat ini pernah terpilih sebagai pelaksana konferensi internasional kupu-kupu. Dalam mempromosikan kawasan wisata alam Bantimurung, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros pernah membuat akronim nama Bantimurung yang mirip parodi yaitu: Banting Murung, tempat anda membanting kemurungan.
Adapun Karaeng Simbang wafat pada tahun 1957 dan dimakamkan di Belakang Masjid Pakalu (salah satu kampung dalam wilayah Kerajaan Simbang, sekarang bernama Lingkungan Pakalu dalam wilayah Kecamatan Bantimurung), yang dibangun dengan dana swadaya di atas tanah pribadinya. Karena itulah ia bergelar Matinroe ri Masigi’na (yang dimakamkan di mesjidnya). Nama lengkapnya, Patahoeddin Daeng Paroempa Sultan Iskandar Muda Matinroe ri Masigi’na.

Minggu, Mei 24, 2009

BADAN PROMOSI PARIWISATA INDONESIA (BPPI)

Ada yang baru dalam Undang-Undang Kepariwisataan tahun 2009 ini. Dengan tiga judul mulai dari sini berturut-turut ke bawah kita mengutip beberapa di antaranya. Presiden R.I. telah mengundangkan pada tanggal 16 Januari 2009, Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Bab X mengamanatkan pembentukan suatu Badan Promosi Pariwisata Indonesia. Pasal 36 dan seterusnya di UU tersebut, menyatakan sebagai berikut:

  1. Pemerintah memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (selanjutnya disingkat BPPI, editor) yang berkedudukan di ibukota negara.
  2. BPPI dimaksud merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
  3. Pembentukan BPPI ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Struktur organisasi BPPI terdiri atas dua unsur yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.

Unsur penentu kebijakan BPPI berjumlah sembilan orang anggota, terdiri atas : wakil asosiasi kepariwisataan empat orang, wakil asosiasi profesi dua orang, wakil asosiasi penerbangan satu orang dan pakar atau akademisi dua orang.

Keanggotaan unsur penentu kebijakan diusulkan oleh Menteri kepada Presiden untuk masa tugas paling lama empat tahun.

Ketentuan mengenai tata kerja, persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan, diatur dengan Peraturan Menteri.

Unsur penentu kebijakan akan membentuk unsure pelaksana untuk menjalankan tugas operasional BPPI.

Unsur pelaksana BPPI dipimpin oleh seorang direktur eksikutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan.

Unsur pelaksana ini wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja.

Masa kerja unsur pelaksana paling lama tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa kerja berikutnya.

Ketentuan lebih lanjut serta tata cara pengangkatan dan perberhentiannya diatur dengan peraturan BPPI.

Apa tugas yang dirumuskan oleh UU ini untuk BPPI?

  1. Meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia.
  2. Meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa.
  3. Meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan.
  4. Menggalang pendanaan dari sumber selain APBN dan APBD sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  5. Melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata.

BPPI mempunyai fungsi sebagai : (a) koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; (b) mitra kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sumber pembiayaan BPPI berasal dari : (1) pemangku kepentingan; (2) sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bantuan dana yang berumber dari APBN dan APBD bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengelolaan dana yang bersumber dari non-APBN dan non-APBD wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

UU ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah (selanjutnya disebut BPPD, editor). Pola pengaturannya serupa dengan BPPI, mulai dari pembentukannya, fungsi dan tujuannya, hingga anggaran biayanya, yang membedakan adalah tingkat hirarkhinya mulai tingkat satu hingga ke bawah tingkat II dan kotamadya.

BPPI harus telah dibentuk paling lambat dua tahun setelah UU diundangkan, jadi, selambatnya tahun 2011.

PENDANAAN PARIWISATA MENURUT UU

UU Kepariwisataan tahun 2009, pada Bab XIII mengatur mengenai pendanaan. Disebutkan, pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha dan msyarakat.

Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisien, transparansi dan akuntibilitas publik.

Pemerintah daerah mengalokasikan sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya.

Pendanaan oleh pengusaha dan atau masyarakat dalam pembangunan pariwisata di pulau kecil diberikan insentif yang diatur dengan Peraturan Presiden.

Pemeritah pusat dan pemerintah daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.

Demikianlah antara lain isi Undang-undang Tentang Kepariwisataan yang berlaku mulai tahun 2009 ini..